“Berkarakterlah yang baik, karena kalian akan menjadi insan penerus cita-cita bangsa ini,” suara lirih dan tegas terdengar dari sebuah ruang BP di suatu sekolah.
“Kalian akan menjadi apa, jika karakter dan tingkah laku kalian seperti itu ?,” suara bernada sama terdengar di ruang kelas yang muridnya begitu asyik dengan gadget ditangannya masing-masing. Seakan menjadikan suara lembut guru tersebut, sebagai alunan musik yang syahdu mengiringi game over nya free fire yang mereka mainkan bersama (red : mabar).
Mungkin demikian pula yang terjadi di setiap sudut sekolah seantero Indonesia, guru dengan lantang berbicara karakter, namun sang murid terus asyik dengan dunianya sendiri. Bahkan tidak sedikit murid yang merasukkan sosok karakter dalam game yang mereka mainkan ke dalam diri mereka. Mereka menganggap dirinya sebagai insan super power, tidak lagi butuh kehidupan sosial yang nyata. Kehidupan sosialnya dibentuk oleh sebuah karakter virtual, yang begitu mudah diedit oleh sang dalang (red. game creator). Sudah banyak fakta, anak-anak ter-candu oleh gadget, mereka lupa kepada-Nya, lupa makan, lupa minum, bahkan ansos (anti sosial). Mereka merasa sebagai robot canggih, cukup difast charging, maka akan mampu bertahan hidup. Mereka tidak lagi memikirkan masa depan, mereka tidak berfikir bagaimana mempertahankan hidupnya kelak. Belum lagi masalah-masalah lain yang secara masif menyerang anak-anak yang seharusnya menjadi anak Indonesia yang hebat.
Mungkin puluhan kurikulum pendidikan sudah pernah dicoba, untuk dijadikan perisai perang terhadap gempuran teknologi dan budaya negatif kepada murid-murid kita. Jika kita gali lebih dalam, tidak ada satupun kurikulum yang meninggalkan pembentukan karakter, tidak ada !. Semua kurikulum selalu menempatkan pembentukan karakter anak sebagai landasan, sebelum kemudian mereka mendapatkan soft skill dan hard skillnya. Tapi apa yang terjadi ? Karakter yang terbentuk masih jauh kalah dengan efek negatif teknologi dan budaya baru. Dan ini dapat berdampak cukup fatal, bisa terjadi Originasi* atau bahkan Dekulturasi** pada masyarakat Indonesia kelak.
Pemerintah Indonesia melalui berbagai kekuatan elemen yang dimilikinya, terus berusaha mempertahakan karakter anak Indonesia seperti saat masih jaman kerajaan Majapahit. Yang selalu mengedepankan anggah ungguh dan menempatkan manusia sebagai insan yang mampu mencipta, mengkarsa dan merasa dengan tetap berperilaku sesuai ajaran- Nya.
Proses pembelajaran murid tidak tergantung pada aspek intelegensi atau kemampuan kognitif saja, tetapi juga dipengaruhi oleh aspek perkembangan sosial dan emosional. Dua aspek ini sangat berpengaruh terhadap tingkah laku anak kepada dirinya sendiri, orang di sekitar dan juga lingkungannya. Dan kini teori ini teradopt dalam sebuah pergerakan guru yang dikenal dengan KSE (Kompetensi Sosial dan Emosional) yang goalnya adalah terciptanya manusia Indonesia yang beradab.
Sebuah teori menyatakan bahwa, pengembangan aspek sosial dan emosional anak terdiri dari empat hal, yaitu self-awareness, self-management, social-awareness dan responsible decision making. (Artikel oleh Edwin Ramadansyah).
Apa itu ?
Tentunya itu adalah sebuah teori, yang harus diejawantahkan dalam sebuah aksi nyata oleh guru-guru hebat di Indonesia. Agar transformasi digital yang ada, tidak merubah chip yang ditanamkan dalam otak anak-anak oleh-Nya menjadi chip robotic buatan manusia.
Semoga anak-anak kita selalu berada di track yang benar, atau jika sudah terlanjur nikung di track yang salah, maka dapat kembali tersadar untuk kemudian melaju pada jalur yang benar.
Selamat Menunaikan Ibadah Suci Ramadhan.
Salam !
*) Masuknya kebudayaan yang baru yang mana sebelumnya masyarakat belum mengenalnya sehingga terjadi perubahan yang besar
**) Unsur budaya yang telah lama hilang karena diganti dengan unsur budaya yang baru
#writter _nanang.st